Senin, 20 April 2020

ISBAT DAN HADF DALAM SURAT AL-FATIHAH (SIROOTHO)

Melengkapi Postingan Sebelumnya Hadf dan Isbat dalam surat Al-Fatihah

3.Kalimat      

Kalimat Shirooto ini dalam al-quran berjumlah 45 Tempat yang tersebar dalam banyak surat baik dalam keadaan Ma’rifah atau Nakiroh .Yaitu:
Al-Fatihah Ayat 6, 7, Al-Baqarah Ayat 142, 213, Ali Imran Ayat 51, 101, An-Nisa Ayat 68, 175, Al-Maidah Ayat 16, Al-An’am Ayat 39,87,126,153,161, Al-A’raf Ayat 16, 86, Yunus Ayat 25, Hud ayat 56, Ibrahim Ayat 1, Al-Hijr Ayat 41, An-Nahl Ayat 76, 121, Maryam ayat 36, 43, Thoha ayat 135, Al-Hajj Ayat 24, 54, Al-Mukminun Ayat 73, 74, An-Nur Ayat 46, Saba’ Ayat 6, Yasin Ayat 4, 61, 66, As-Shofaat Ayat 23, 118, Shood Ayat 22, Syuro Ayat 52, 53, Az-zukhruf Ayat 43, 61, 64, Al-Fath ayat 2, 20, dan Al-Mulk ayat 22.

Imam Abu Dawud dalam kitabnya Muhtasor Tabyiin Lihijail Tanziil mengatakan bahwa sebagian Mushaf-Mushaf Ustmani yang ada(muhaf dahulu), Kalimat Shirootun ini ditulis dengan hadf alif (tidak memakai alif) antara huruf ‘’Ra’’ dan huruf Tho’’ dimanapun letak dan keberadaannya baik dalam keadaan Nakiroh atau Ma’rifat dan sebagian lagi ditulis dengan Isbat Alif ( memakai Alif) dan cara keduanya hasan ( baik ), dan saya ( Imam Abu Dawud lebih memilih dengan hadf alif ( membuang alif)-dalam Mushaf cetakan Masyriq atau Timur Tengah alif ini ditandai dengan alif kecil (alif khonjariyah)

Imam Abu Amr Addani dalam Al-Muqni Mendiamkan kalimat ini, dengan didiamkannnya kalimat ini menurut Madzhab Ad-dani bahwa penulisan shiroot ini ditulis dengan isbat alif ( menetapkan penulisan alif antara huruf “Ra” dan “Tho” secara umum, dan juga di kembalikan dengan wazan dari 7 wazan yaitu dengan wazan Fi-Aalun(kasroh fa), secara umum menurut Madzhab Imam Abu Amr Ad-dani bahwa kalimat-kalimat yang didiamkan pembahasannya dalam Al-Muqni maka kembali mengikuti wazan shorof yang 7 (dalam hal ini Isbat adanya), sebagaimana para pensyarah menyatakan akan hal itu. seperti  Al-Wasilah oleh Imam As-Sakhowi, Al-Jamilah oleh Imam Al-Ja’bari, Talhis Al Fawaid oleh Imam Ibnu Al-Qoosih. Imam Ad-dani menyatakan bahwa Riwayat dari Muhammad Bin Isa menyatakan penulisan alif setelah huruf ‘’ro’’ diisbat semua, kecuali pada tiga tempat yaitu kalimat Turooba Arra’du ayat 5, An-naml Ayat 67, dan An-naba 40. Dan juga syarah dari kitab Al-Aqilah Imam Syatibi W 590 H. yaitu At-tibyaan milik Imam Ajathoo As-sonhaaji, Tanbihul Athsyaan milik Imam Abi Ali Ar-Rajraji, Dalilul Khairoon Imam Abi Ishaq Al-Maroghini, dan juga syarah kitab Mawaridud Doman Imam Khoroz W 718 H, yaitu Irsyadul Quro Wal Katibiin  milik Imam Al-Mukholilati, Syamiruttolibin oleh Imam Muhammad Ali Ad-doba,  juga beberapa keterangan dalam pembahasannya oleh Dr. Syafaat Rabbani Al-Alifaat Alati Sakata Anha Ad-daniyu dan beberapa makalahnya, dan karya syaikh Dr. Ghonim Qoduri Al-Hamd  Al-Muyassar Fi Ilmi Rasm Al Mushaf walaupun beliau merojihkan yang Hadf.

Dalam Nasrul Marjan dijelaskan adapun alif setelah huruf ra menjadi khilaf antara yang mengisbat dan yang menghadf, Imam Ad-dani dan Imam Asy-Syatibi tidak memaparkan kalimat ini, hanya saja Imam Ad-dani dalam qoidahnya menyatakan dan demikian diisbatkan Alif pada setiap kalimat yang memakai wazan Fa-Aalun dan Fi-Aalun, dengan fathah ‘’fa’’atau kasroh fa. selesai’’ Muhammad Bin Ghauts Al-Arkati Al-Hindi

Mana yang rajih?

Imam Al-Khoroz menyandarkan kepada Imam Abu Dawud tentang tatacara penulisan kalimat Shiroot kedalam dua cara yaitu Isbat dan Hadf, dengan tidak Merojihkan salah satunya dan keterangan ini juga diikuti beberapa pensyarah selanjutnya terhadap kitab Abu Dawud, berkata Imam Ibnu Al-Qodhi Hadf adalah pilihan dalam At-Tanzil, sementara Imam Ad-dani mendiamkannya sehingga dipahami dengan pendiamannya terhadap kalimat ini, maka masuk kedalam Isbat adanya, sebagaimana qoidah dalam Al-Muqni, “Isbat Alif Adalah Pada Setiap Kata Dengan Wazan (fi-aalun) atau fa-alun’’, demikian keterangan Imam Mukholilati yang dinisbatkan ke Ad-dani dalam penetapan(Isbat) alif dalam kalimat ini, dan juga diikuti beberapa para ulama, bahwa Isbat Alif adalah setiap kalimat yang dibangun atas wazan fi-aalun(), sementara walaupun ikut dalam wazan fi-aal tetapi tidak dipaparkan oleh Imam Ad-dani maka itu pengecualian dan adanya riwayat yang menyatakan sampai kepadanya. Seperti lafadz Kitaabun.

Prof. Dr. Ahmad Kholid Syukri dalam keterangannnya di Majalah Ma’had Imam Syatibi Lidirosah Qur’aniyah dengan judul At Tarjih Wa Talil Libadi Kalimatit Tanzil Saudi adad ke-tiga Jumadil Akhiroh, menyatakan: bahwa yang rajih bagi saya adalah Isbat adanya, karena lafadz dengan wazan (fi-aalun)  lebih banyak daurnya-penggunaannya dan kebanyakannya adalah Isbat, karena lebih mudah dipahami dan diucapkan  secara umum, dan juga adanya kebolehan menulis dengan salah satu dari dua cara.

Imam Muhammad bin Ied (Imam Mukholilati) sebagaimana pernyataan diatas tadi, beliau juga merojihkan yang Isbat adanya, hal ini bisa dilihat pada Mushaf Mukholilati Mesir cetakan tahun 1308 H. oleh Maktabah Bahiyah Mesir dan juga dalam kitabnya  Irsyadul Quro Wal Katibin, walaupun menurut ulama Mesir setelahnya, bahwa pilihan Imam Mukholilati dianggap kurang tepat, sehingga pada cetakan selanjutnya kalimat Shiroot menjadi Hadf Alif, dan ketika terjadi khilaf antara Abu Dawud dan Ad-dani dipilihlah Imam Abu Dawud dan perojihan Hadf Alif juga banyak diaminkan para ulama, artinya antara yang menghadf dan yang mengisbat sama dalam pembahasan para ulama, hanya saja mushaf yang beredar di wilayah Masyriq semua mengahadf alif karena merojihkan pendapat Imam Abu Dawud dalam At-Tanzil sebagaimana tertera dalam Halaman tambahan belakang Mushaf, sementara yang mengisbat alif adalah Madzhab Imam Ad-Dani yang banyak diperaktikkan diluar Arab Masyriq.

Ibnu Watsiq Al-Andalusi wafat tahun 654 H, dalam Risalah Fi Rasmil Mushaf menyatakan “dan pada mushaf-mushaf terdahulu penulisan kata dimanapun tempat dan mulhaqnya ditulis dengan Hadf Alif tetapi yang masyhur adalah Isbat Alif   

Dengan demikian bahwa penulisan sirot dalam mushaf yang menggunakan alif secara sorih  atau siroh tanpa alif dengan alif khonjariyah(alif kecil), sama-sama ada rujukannya dari para ulama, sehingga secara riwayat kedua cara penulisan ini adalah Utsmani. Oleh karenanya  Mushaf Standar Kemenag dan Standar Madinah atau Mesir sama-sama mushaf dengan Rasm Utsmani.